Rabu, 25 Januari 2012

Membangun Kultur Animasi )**

Sejak Walt Disney memproduksi film animasi bernuansa anak-anak ”Mickey Mouse” pada tahun 1928, animasi menjadi tidak dapat dipisahkan dari dunia anak-anak dalam konteks kehidupan mereka hingga sekarang. Meskipun dalam dua dasawarsa terakhir konsumsi animasi telah meluas dari anak-anak hingga orang dewasa, animasi masih sering diidentikkan dengan kehidupan anak-anak, yang cukup memberikan ingatan bagi mereka dan terbawa kuat hingga mereka menjadi dewasa. Banyak sekali film animasi yang menjadi memori kolektif yang terbawa hingga anak-anak tumbuh dewasa hingga menjadi penanda sebuah penanda budaya yang mewakili era atau generasi tertentu. Bahkan ada film animasi yang mampu bertahan puluhan tahun dan menjadi tontonan dan produk budaya legendaris yang sepertinya tidak akan pernah mati. Mickey Mouse, Donald bebek, Doraemon, Tom & Jerry, Casper, dsb, masih tetap saja menarik sebagai sebuah tontonan meskipun konteks zaman sudah berubah dibandingkan ketika animasi tersebut pertama kali dibuat. Karakter-karakter yang tercipta dalam animasi sebagai representasi dari imajinasi manusia untuk menghidupkan gambar seolah keluar menjadi realitas sehingga dianggap ada dalam dunia nyata. Mungkin karena itulah animasi tidak pernah kehilangan nyawa dan selalu hidup dalam peradaban manusia.
Animasi yang memiliki sejarah cukup panjang semakin berkembang pesat dengan didukung oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi elektronika dan digital. Dimana dalam perkembanganya, medium audio visual yang paling banyak memutar film-film animasi antara lain adalah televisi, disusul oleh film layar lebar (bioskop), personal komputer dan media online. Khusus untuk media televisi, untuk saat ini, berdasarkan survey AC-Nielsen jumlah jam tayang film animasi yang diputar di televisi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. AC-Nielsen mencatat, dalam hal jam tayang, program animasi anak menunjukkan penambahan terbanyak. Jam tayangnya naik 9% dengan hadirnya program baru, seperti Animalia, Avatar the Legend of Aang, Dancouga Nova, Krisna, Pinguin from Madagaskar, Bernard Bear, Fanboy & Chum-chum, Oscar Oasis, Shaun the Sheep, dsb. Ditambah jam tayang beberapa program lama, seperti Naruto atau Ipin & Upin, Sponge Bob Square Pants, dll. Nielsen juga mencatat jumlah waktu anak-anak menonton animasi pun meningkat 22% menjadi rata-rata 8 jam 14 menit. Tetapi di balik banyaknya film animasi yang ditayangkan di televisi Indonesia tersimpan fakta yang ironis. Dari sekian banyak tayangan animasi yang diputar di televisi, semuanya di dominasi oleh animasi luar sehingga tak ada satupun produk animasi lokal yang menjadi favorit dan menguasai rating televisi, dimana animasi produksi Amerika dan jepang (dikenal dengan anime) menjadi penguasa jagad animasi dunia hingga saat ini. Belakangan negara lain seperti Korea, India, bahkan Malaysia, ikut meramaikan pentas animasi dunia yang selama ini banyak didominasi hanya oleh kedua negara tersebut (Amerika dan Jepang). Sedangkan Indonesia yang sering dianggap memiliki kekayaan karena karekaragaman budayanya masih tertinggal jauh dibelakang. Bagi para animator lokal, hal ini sebenarnya sudah menjadi masalah klasik yang disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kurangnya dukungan pemerintah, daya serap industri yang lemah, serta masalah sumber daya manusia. Namun yang salah satu faktor yang paling penting dari faktor-faktor tersebut sebenarnya adalah minimnya sumber daya manusia sebagai akibat sekaligus sebab belum terbentuknya ”kultur animasi” (Animation culture) di Indonesia.
Untuk membangun sebuah kultur animasi yang mampu memunculkan produk-produk animasi berkualitas yang ditopang oleh sumber daya yang memadai diperlukan waktu dan proses yang tidak singkat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memulai memperkenalkan aniamsi beserta proses produksinya sejak dini kepada anak-anak. Diharapkan dengan memperkenalkan proses animasi yang dilakukan sejak dini, anak-anak tidak hanya sekedar menjadi penikmat atau menjadi konsumen animasi semata. Karena yang terjadi selama ini, banyak sekali anak-anak yang tidak mengetahui bagaimana animasi itu dibuat/diproduksi. Namun lebih dari itu juga diharapkan dapat menumbuhkan minat anak-anak untuk menekuni dunia animasi sejak kecil. Dengan demikian diharapkan nantinya akan lahir generasi yang tumbuh dan besar dalam ”budaya animasi” yang siap memproduksi dan mengembangkan animasi Indonesia hingga mendunia. Disamping itu, karena dunia animasi juga sangat berhubungan erat dengan imajisasi dan kreatifitas, memperkenalkan proses produksi animasi sejak dini diharapkan juga mampu mengasah imajinasi dan kreatifitas mereka sedini mungkin. Apalagi jika dikombinasikan dan ditopang oleh kekayaan dan keaneka-ragaman budaya Indonesia sebagai spirit dan inspirasi, serta ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi, bukan hal yang mustahil Indonesia bisa menjadi salah satu pemain utama dalam industri animasi dunia di masa yang akan datang, tanpa harus menunggu terlalu lama lagi...
)** Tulisan ini dibuat dalam rangka program pengabdian masyarakat melalui pelatihan animasi untuk anak-anak Sekolah Dasar di DIY tahun 2011