Rabu, 25 Januari 2012

Membangun Kultur Animasi )**

Sejak Walt Disney memproduksi film animasi bernuansa anak-anak ”Mickey Mouse” pada tahun 1928, animasi menjadi tidak dapat dipisahkan dari dunia anak-anak dalam konteks kehidupan mereka hingga sekarang. Meskipun dalam dua dasawarsa terakhir konsumsi animasi telah meluas dari anak-anak hingga orang dewasa, animasi masih sering diidentikkan dengan kehidupan anak-anak, yang cukup memberikan ingatan bagi mereka dan terbawa kuat hingga mereka menjadi dewasa. Banyak sekali film animasi yang menjadi memori kolektif yang terbawa hingga anak-anak tumbuh dewasa hingga menjadi penanda sebuah penanda budaya yang mewakili era atau generasi tertentu. Bahkan ada film animasi yang mampu bertahan puluhan tahun dan menjadi tontonan dan produk budaya legendaris yang sepertinya tidak akan pernah mati. Mickey Mouse, Donald bebek, Doraemon, Tom & Jerry, Casper, dsb, masih tetap saja menarik sebagai sebuah tontonan meskipun konteks zaman sudah berubah dibandingkan ketika animasi tersebut pertama kali dibuat. Karakter-karakter yang tercipta dalam animasi sebagai representasi dari imajinasi manusia untuk menghidupkan gambar seolah keluar menjadi realitas sehingga dianggap ada dalam dunia nyata. Mungkin karena itulah animasi tidak pernah kehilangan nyawa dan selalu hidup dalam peradaban manusia.
Animasi yang memiliki sejarah cukup panjang semakin berkembang pesat dengan didukung oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi elektronika dan digital. Dimana dalam perkembanganya, medium audio visual yang paling banyak memutar film-film animasi antara lain adalah televisi, disusul oleh film layar lebar (bioskop), personal komputer dan media online. Khusus untuk media televisi, untuk saat ini, berdasarkan survey AC-Nielsen jumlah jam tayang film animasi yang diputar di televisi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. AC-Nielsen mencatat, dalam hal jam tayang, program animasi anak menunjukkan penambahan terbanyak. Jam tayangnya naik 9% dengan hadirnya program baru, seperti Animalia, Avatar the Legend of Aang, Dancouga Nova, Krisna, Pinguin from Madagaskar, Bernard Bear, Fanboy & Chum-chum, Oscar Oasis, Shaun the Sheep, dsb. Ditambah jam tayang beberapa program lama, seperti Naruto atau Ipin & Upin, Sponge Bob Square Pants, dll. Nielsen juga mencatat jumlah waktu anak-anak menonton animasi pun meningkat 22% menjadi rata-rata 8 jam 14 menit. Tetapi di balik banyaknya film animasi yang ditayangkan di televisi Indonesia tersimpan fakta yang ironis. Dari sekian banyak tayangan animasi yang diputar di televisi, semuanya di dominasi oleh animasi luar sehingga tak ada satupun produk animasi lokal yang menjadi favorit dan menguasai rating televisi, dimana animasi produksi Amerika dan jepang (dikenal dengan anime) menjadi penguasa jagad animasi dunia hingga saat ini. Belakangan negara lain seperti Korea, India, bahkan Malaysia, ikut meramaikan pentas animasi dunia yang selama ini banyak didominasi hanya oleh kedua negara tersebut (Amerika dan Jepang). Sedangkan Indonesia yang sering dianggap memiliki kekayaan karena karekaragaman budayanya masih tertinggal jauh dibelakang. Bagi para animator lokal, hal ini sebenarnya sudah menjadi masalah klasik yang disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kurangnya dukungan pemerintah, daya serap industri yang lemah, serta masalah sumber daya manusia. Namun yang salah satu faktor yang paling penting dari faktor-faktor tersebut sebenarnya adalah minimnya sumber daya manusia sebagai akibat sekaligus sebab belum terbentuknya ”kultur animasi” (Animation culture) di Indonesia.
Untuk membangun sebuah kultur animasi yang mampu memunculkan produk-produk animasi berkualitas yang ditopang oleh sumber daya yang memadai diperlukan waktu dan proses yang tidak singkat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memulai memperkenalkan aniamsi beserta proses produksinya sejak dini kepada anak-anak. Diharapkan dengan memperkenalkan proses animasi yang dilakukan sejak dini, anak-anak tidak hanya sekedar menjadi penikmat atau menjadi konsumen animasi semata. Karena yang terjadi selama ini, banyak sekali anak-anak yang tidak mengetahui bagaimana animasi itu dibuat/diproduksi. Namun lebih dari itu juga diharapkan dapat menumbuhkan minat anak-anak untuk menekuni dunia animasi sejak kecil. Dengan demikian diharapkan nantinya akan lahir generasi yang tumbuh dan besar dalam ”budaya animasi” yang siap memproduksi dan mengembangkan animasi Indonesia hingga mendunia. Disamping itu, karena dunia animasi juga sangat berhubungan erat dengan imajisasi dan kreatifitas, memperkenalkan proses produksi animasi sejak dini diharapkan juga mampu mengasah imajinasi dan kreatifitas mereka sedini mungkin. Apalagi jika dikombinasikan dan ditopang oleh kekayaan dan keaneka-ragaman budaya Indonesia sebagai spirit dan inspirasi, serta ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi, bukan hal yang mustahil Indonesia bisa menjadi salah satu pemain utama dalam industri animasi dunia di masa yang akan datang, tanpa harus menunggu terlalu lama lagi...
)** Tulisan ini dibuat dalam rangka program pengabdian masyarakat melalui pelatihan animasi untuk anak-anak Sekolah Dasar di DIY tahun 2011

Selasa, 04 Oktober 2011

ANALISA LAYOUT SURAT KABAR DENGAN PRINSIP-PRINSIP DESAIN BERDASARKAN METODE ESTETIKA BIRKHOFF **

Abstrak

Penelitian ini memiliki fokus utama untuk menganalisa estetika layout surat kabar dengan pendekatan obyektif matematik, yang mengacu pada beberapa metode pengukuruan estetika Birkhoff yang dikembangkan oleh David Chek Ling Ngo. Ngo mengembangkan metode pengukuran estetika layout yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan desain terutama desain antar muka komputer. Metode pengukuran yang ia kembangkan mengacu pada prinsip-prinsip estetika desain antara lain; prinsip keseimbangan (balance), prinsip kesetangkupan (simmetry), prinsip kesinambungan (sequence), prinsip kesatuan (unity), dan prinsip kesetimbangan (equilibrium). Metote pengukuran estetika Birhhoff ia gunakan sebagai analisis akhir untuk menentukan nilai estetika layout (Ngo, 2003). Didalam penelitian ini, beberapa media nasional dan lokal akan dipilih sebagai sampel penelitian untuk mengetahui dan menilai estetika layoutnya. Analisa empirik juga akan dilakukan untuk mengetahui akurasi dari metode penilaian yang digunakan.
Kata Kunci: Estetika, estetika Birkhof, surat kabar.
)** Penelitian ini didanai oleh DIPA Kopertis Wilayah V Yogyakarta tahun anggaran 2011

Senin, 25 April 2011

Estetika Birhoff

Birhoff, seorang matematikawan terkemuka dari Amerika Serikat, mengembangkan metode pengukuran estetika yang mencoba menangkap kecenderungan persepsi estetik manusia. Birkhoff mendefinisikan pengukuran estetika (M) sebagai rasio antara susunan (Order) (O) dan kompleksitas (Complexity) (C) atau M = O/C (Birkhoff, 1933). Metode estetika yang dikembangkan oleh Birkhoff selanjutnya banyak dipakai secara luas oleh para peneliti lintas disiplin ilmu sebagai dasar dalam menganalisa estetika. Aplikasi teori Birkhof selain digunakan untuk menilai estetika bentuk-bentuk geometris, bentuk kurva, juga dikembangkan untuk menilai layout, antar muka komputer, hingga karya seni rupa seperti lukisan.

Beberapa peneliti yang terinspirasi mengembangkan metode penilaian estetika berdasarkan metode Birkhoff antara lain David Chek Ling Ngo dkk. Selain mengembangkan metode pengukuran estetika berdasarkan prinsip desain yang dikombinasikan dengan estetika Birkhoff, Ngo juga mengembangkan aplikasi sekaligus melakukan studi empirik terhadap metode estetika yang dikembangkannya. Beberapa metode pengukuran estetika yang mengacu pada prinsip-prinsip desain yang dikembangkan oleh Ngo dkk dikembangkan dalam bentuk model matematik sebagai berikut (Ngo, 2003):

1. Keseimbangan (balance)

Balance didefinisikan secara matematis sebagai perbedaan antara total berat elemen di setiap sisi layout dengan rumus sebagai berikut:

BM = 1 -    Є [0,1] (1)

Dimana BM adalah ukuran keseimbangan, BMvertical adalah total berat obyek berdasarkan sumbu vertikal, dan BMhorizontal adalah total berat obyek berdasarkan sumbu horisontal.

2. Simmetri (Symmetry)

Simmetri didefinisikan sebagai duplikasi aksial dari obyek di setiap sisi yang dirumuskan sebagai berikut.

SYM = 1 -  Є [0,1] (2)

Dimana SYM adalah ukuran simemtri, SYMvertical adalah simmetri berdasarkan sumbu vertikal, SYMhorozontal menunjukkan simmetri berdasarkan sumbu horisontal, dan SYMradial menunjukkan simmetri berdarasarkan sudut radialnya.

3. Titik berat (Equilibrium)
Equilibrium didefinisikan sebagai titik berat optik keseluruhan elemen terhadap titik pusat layout yang dirumuskan sebagai berikut:

EM = 1 -  Є [0,1] (3)
Dimana EM adalah ukuran titik berat, EMx menunjukkan ukuran titik berat terhadap sumbu X, dan EMy menunjukkan ukuran titik berat terhadap sumbu Y.

4. Kesatuan (Unity)
Kesatuan atau unity didefinisikan sebagai persepsi kesautan dari keseluruhan elemen visual dalam layout yang dirumuskan sebagai berikut:

UM = 1 - Є [0,1] (4)
Dimana UM adalah ukuran kesatuan (unity), UMform menunjukkan kesatuan bentuk, dan UMspace menunjukkan kesatuan obyek dalam ruang.

5. Kesederhanaan (simplicity)
Symplicity adalah persepsi kesederhanaan obyek desain dalam kesatuan bentuk yang dirumuskan sebagai berikut:

SMM = 1 -   Є [0,1] (5)

Dimana SMM adalah ukuran kesederhanaan, nvab, nhap menunjukkan jumlah poin penataan obyek, dan n menunjukkan jumlah obyek dalam frame.

6. Order and Complexity

Order and Complexity merupakan agregat atau nilai total dari kombinasi estetika yang digunakan yang dirumuskan:

OM = O/C Є [0,1] (6)
Dimana OM menunjukkan ukuran estetika, O menunjukkan total nilai estetika berdasarkan penghitungan berdasarkan prinsip estetika yang digunakan, C menunjukkan jumlah total kombinasi estetika yang digunakan.

Minggu, 24 April 2011

Estetika Komputasi (Aesthetic Computing)

Penelitian estetika secara lebih luas dalam hubungannya dengan komputer baru dirumuskan oleh Eurographic Associtaion dalam Euro Graphic Workshop on Computational Aesthetics in Graphics, Visualization and Imaging di Girona, Spanyol pada tahun 2005. Eurographic Associtaion (EA) merumuskan bentuk aplikasi estetika dalam bidang komputer menjadi sebuah bidang yang disebut sebagai “computational aesthetics” atau estetika komputasi. EA mendefinisikan estetika komputasi sebagai usaha penelitian yang memfokuskan pada metode komputasi yang memungkinkan penerapan keputusan estetik sebagaimana yang dilakukan manusia. Sehingga ditetapkan fokus bidang ini adalah: (1) Mengembangkan metode komputasi untuk mengambil keputusan-keputusan yang bersifat estetik, (2) Mengetahui kecerdasan manusia dan sistem persepsinya berkaitan dengan estetika yang terukur, (3) Memfokuskan pada nilai estetika bentuk, terutama yang berkaitan dengan obyek-obyek dalam desain untuk segera menggembangkan aplikasinya (Hoenig, 2005).

Estetika

Estetika adalah cabang dari filsafat yang menekankan pada kajian keilmuan untuk mengungkap esensi keindahan khususnya keindahan dalam karya seni (art), sehingga estetika juga sering difahami dan disamakan dengan nilai artistik dari sebuah karya seni (Danto, 2007). Munculnya istilah estetika (aesthetics) baru diperkenalkan pada tahun 1753 oleh filosof Jerman Alexander Gottlieb Baumgarten, meskipun kajiannya telah berlangsung sejak masa Yunani kuno yang diawali oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles sebagai peletak dasar teori estetika klasik. Kajian estetika dimulai dari para filsuf tersebut yang mempertanyakan apakah kualitas keindahan itu hadir pada obyek yang bisa dikualifikasi atau ia hadir dalam pikiran manusia? Apakah keindahan obyek dipersepsi berdasarkan mode khusus, mode estetika, atau hanya sebatas kualitas obyek semata dimana terdapat kualitas-kualitas khusus yang dimiliki benda atau kualitas estetiknya? Sehingga para filosof juga membedakan antara keindahan dengan nilai sublim atau keagungan sesuatu. Selanjutnya, dalam aplikasinya estetika banyak dipakai dalam berbagai bidang keilmuan khususnya bidang desain (grafis, produk, interior, fashion), arsitektur, hingga desain antarmuka pengguna berbasis GUI (Graphical User Interface), termasuk dalam fotografi. 
Teori estetika yang muncul kemudian adalah teori estetika obyektif dan teori estetika subyektif. Teori obyektif berpandangan bahwa keindahan adalah sifat atau kualitas yang melekat pada obyek. Ciri yang memberi keindahan pada obyek adalah perimbangan antara bagian-bagian pada obyek sehinga asas-asas tertentu mengenai bentuk terpenuhi. Sedangkan teori subyektif mengungkapkan bahwa keindahan hanyalah tanggapan perasaan pengamat dan tergantung pada persepsi pengamat berdasarkan pengalaman yang dimilikinya. Menurut Kartika (2004) pada prinsipnya perkembangan teori estetika dapat dibagi menjadi tiga bagian; 1) Teori estetika formil, yang mendefiniskan keindahan sebagai persoalan bentuk dan warna. Teori ini beranggapan bahwa keindahan merupakan hasil dari dimensi-dimensi formil seperti dimensi bentuk (panjang, labar, dan tinggi) dan warna. 2) Teori estetika ekspresionis, mendefinisikan keindahan tidak selalu mendasarkan pada aspek bentuk atau warnanya, melainkan pada maksud dan tujuan atau ekspresinya. Teori ini beranggapan bahwa keindahan dari karya seni bergantung atau lahir dari ekspresinya. 3) Teori estetika psikologis, Teori estetika psikologis mendasarkan pada aspek psikologis yang berhubungan dengan aspek mental (emosi) dalam proses persepsi manusia, khususnya persepsi visualnya. Teori ini banyak berdasar pada teori persepsi dalam psikologi Gestalt dan sering dipakai untuk mengkaji estetika secara ilmiah dengan kaidah psikologi empirik. Dewasa ini teori dan wacana estetika yang berkembang banyak mengacu pada teori estetika psikologis yang berbasis pada persepsi visual dan pengalaman manusia yang kompleks.

Layout & Dektop Publishing

Layout atau tata letak memegang peranan sangat vital dalam segala bentuk desain media publikasi karena layout sangat berkaitan erat dengan penataan keseluruhan elemen visual dalam desain (Graham, 2005). Dalam konteks desain grafis layout dapat didefinisikan sebagai sebuah metode dalam menyusun atau mengorganisir keseluruhan elemen visual dalam desain yang terdiri atas grafis (graphic), tipografi (tipography), dan ruang (space) dalam satu kesatuan desain yang mendukung fungsi media sebagai alat komunikasi. Selain itu, layout dalam desain media publikasi secara keseluruhan berhubungan dengan desain perwajahannya, yaitu sebuah metode desain yang bertujuan untuk mengemas dan menyajikan informasi yang mampu membentuk karakter media itu sendiri. Unsur penting dalam desain perwajahan media selain layout terdiri atas ilustrasi, informasi grafis (infographic), dan warna. Dengan demikian, aspek layout dalam perwajahan media, selain berhubungan dengan aspek komunikasi, juga berhubungan dengan aspek estetik atau artistik yang akan berpengaruh terhadap “wajah/rupa” yang akan membentuk karakter visual media itu yang membedakan dengan media lain yang sejenis.
 
Perkembangan teknologi dan seni, memiliki andil besar dalam layout dan desain perwajahan media. Perwajahan media komunikasi telah mengalami evolusi dalam proses desain maupun layoutnya akibat pengaruh perkembangan teknologi. Pengaruh tersebut diawali oleh penemuan teknologi mesin cetak oleh Johannes Gutenberg pada abad 14, yang dilanjutkan dengan penemuan kamera foto, teknologi cetak offset, hingga perkembangan teknologi komputer grafis. Terutama setelah era komputerisasi berbasis digital, proses layout hingga cetak mengalami revolusi dan percepatan luar biasa. Jika pada masa sebelumnya, proses cetak melibatkan banyak orang dan banyak komponen (alat) dan memakan waktu lama, pada era digital cukup hanya dengan sedikit orang dengan seperangkat komputer dalam satu meja saja, yang kemudian populer dengan istilah “desktop publishing” atau biasa disingkat DTP. Selanjutnya, kemudahan teknologi digital (desktop publishing) berpengaruh pada format, kualitas, kecepatan, sistem, hingga gaya dalam desain layout. Saat ini, dipicu oleh perkembangan teknologi digital, output media tidak lagi hadir dalam bentuk cetak saja, melainkan telah berkembang dalam format digital yang dikenal dengan istilah e-paper atau paperless yang melahirkan media baru seperti e-book, e-zine, dll. Di sisi lain, perkembangan estetika gaya dalam seni rupa juga berpengaruh besar dalam desain layout dan perwajahan media. Mulai dari gaya klasik ornamental, art nuoveau, Bauhaus, Swiss design, futurisme, ekletisme, pop, posmo, hingga digital style (Meggs, 2006). Sedangkan format yang membentuk gaya layout yang paling banyak digunakan adalah format layout berbasis grid (grid system layout), yaitu sebuah metode dalam melayout yang menggunakan kombinasi garis vertikal dan horisontal sebagai garis bantu dalam menentukan format layout (Tondreau, 2009). Metode layout ini dipengaruhi oleh perkembangan senirupa gaya konstruktifisme dan Mondrian art dimana aplikasinya dalam desain akhirnya dikenal dengan gaya Bauhaus dan Swiss Design (Typographic International Style).
 

Teknologi Publishing dan Desain Grafis

Perkembangan desain grafis tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor sejarah dan ditopang oleh filsafat desain yang mengacu pada estetika seni, tetapi juga dibentuk oleh perkembangan media dan terutama oleh perkembangan teknologi (Ryan, 2004). Sehingga, layout dokumen publikasi media sebagai bagian dari desain grafis juga tak luput dari pengaruh perkembangan dan revolusi teknologi. Revolusi pertama diawali setelah ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg sekitar tahun 1450. Mesin cetak Gutenberg mamungkinkan untuk mencetak dokumen lebih murah, cepat dan lebih banyak (masal) sehingga menimbulkan apa yang disebut dengan revolusi media massa (terutama berbentuk buku-buku) yang berpengaruh besar pada peradaban manusia. Namun baru setelah abad ke-17 media kemudian berkembang menjadi tidak hanya buku, tetapi media cetak lain seperti surat kabar/koran, pamflet, poster iklan, dsb. Setelah ditemukanya mesin uap oleh James Watt pada abad ke-18 yang kemudian memicu lahirnya era revolusi energi sekaligus memicu revolusi industri, berdampak langsung ke teknologi mesin cetak. Selanjutnya mesin cetak semakin disempurnakan dengan inovasi teknologi berupa mesin silinder putar dan mesin linotype yang mampu membuat type setting jauh lebih cepat dari sebelumnya. Lahirlah sebuah era baru mesin cetak modern, mesin cetak tersebut mampu mencetak gambar dari plate berbentuk silinder ke atas kertas panjang. Dunia publikasi dan penerbitan memasuki babak baru, dimana dampaknya dirasakan langsung terutama oleh media massa utama pada saat itu (surat kabar/Koran), yang bisa diterbitkan setiap hari dengan oplah yang besar. Revolusi cetak berikutnya terjadi pada tahun 1950-an setelah ditemukannya mesin “ajaib” yang disebut dengan mesin phototypesetting dan mesin cetak photo-offset. Dimana kedua mesin tersebut mampu mencetak secara colorfull dan jauh lebih presisi dari mesin-mesin sebelumnya sekaligus mampu menghasilkan cetakan yang lebih photorealistic, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh mesin-mesin cetak era sebelumnya.

Revolusi yang paling muthakir yang menyusul kemudian tidak berselang lama setelah ditemukannya kedua mesin ajaib tersebut, yaitu terjadi pada sekitar tahun 1980-an dengan ditemukanya teknologi yang lebih ajaib lagi, yaitu teknologi komputer berbasis digital. Percetakan dan publikasi selanjutnya memasuki era baru. Jika sebelum era 80-an proses desain media-media komunikasi dan publikasi melibatkan banyak fihak dengan proses yang kompleks dan terpisah satu sama lain, mulai dari; penulis, editor, designer, typesetter, strippers, seniman grafis, staff pra-produksi, platemaker, hingga operator cetak. Di pertengahan tahun 1980-an dengan perkembangan teknologi komputer berbasis digital menyatukan keseluruhan proses yang kompleks dan terpisah tersebut dalam satu meja yang dikenal dengan “desktop publishing”. Desktop publishing secara sederhana dapat didefinisikan sebagai proses pembuatan dokumen publikasi untuk cetak maupun elektronik dengan menggunakan komputer dan software khusus yang dirancang untuk mengolah teks dan gambar. Pada awal perkembanganya, pensuplai utama teknologi desktop publishing didominasi oleh tiga vendor besar; Apple Computer, Aldus, dan Adobe. Pemrakarsa pertama adalah Apple computer yang memperkenalkan sistem GUI (Graphical User Interface) yang membuat computer jauh lebih mudah digunakan (User Friendly) dari model sebelumnya. Komputer tersebut sekaligus berkonsep WYSIWYG (What You See is What You Get), sebuah sistem yang memungkinkan konten yang sedang dikerjakan di komputer mendekati atau bahkan sama dengan output yang akan dihasilkan. Apple juga untuk pertama kalinya memperkenalkan mouse sebagai alat bantu dalam menginput dan mengoperasikan program berbasis GUI-nya. Disamping itu Apple juga mengembangkan program-program grafis yang mulai diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1985 berbentuk software grafis yang diberi nama “MacPublisher”. Sementara itu Adobe juga tidak mau ketinggalan dengan mulai mengembangkan teknologi Postscript, yang mampu menyajikan teks menjadi lebih tajam daripada dengan menggunakan format bitmap. Hingga akhirnya Paul Brainerd, seorang ahli di persuratkabaran dan pendiri ALDUS Corporation yang sangat familiar dengan pengolahan surat kabar berbasis type-setting, mengembangkan program PageMaker. PageMaker selanjutnya dikenal sebagai program canggih pengolah desain tata letak/layout yang paling populer dan mudah digunakan. Paul Brainerd sendirilah yang memperkenalkan istilah Desktop Publishing atas keseluruhan proses dalam penerbitan berdasarkan program ciptaannya tersebut. Selanjutnya Adobe mengakuisisi Aldus PageMaker untuk versi Apple (Macintosh) maupun komputer PC. Adobe akhirnya mendominasi sebagai vendor komputer grafis dan desktop publishing dengan mengembangkan program lain seperti Adobe Photoshop, Illustrator, dan adobe InDesign sebagai pengolah layout yang menggantikan Pagemaker. Software lain yang juga popular antara lain QuarkXpress, Corel Ventura, Miscrosoft Office Publishing, PageStream, dll. Namun hingga saat ini Adobe menjadi pemimpin pasar dengan Adobe InDesign-nya setelah pada tahun 2002 adobe PageMaker secara resmi tidak dilanjutkan lagi pengembanganya.
 
Saat ini, dengan pesatnya penggunaan teknologi digital dalam desain dan layout khususnya, telah menyediakan ruang melimpah, elastisitas dan aneka pilihan kreatif bagi para desainer untuk berkreasi secara digital. Bola panas dalam proses desain perwajahan media selanjutnya berada di tangan desainer. Sehingga desainer grafis dewasa ini dituntut tidak hanya menguasai aspek desain dan perwajahan media semata, tetapi juga harus tahu proses persiapan output medianya, pra-cetak jika outputnya berupa cetakan, atau persiapan untuk dokumen elektronik jika outputnya berformat digital. Perkembangan teknologi digital juga memunculkan format baru dalam media komunikasi. Jika sebelum era digital media cetak mendominasi penerbitan, maka saat ini sudah mulai tergeser oleh format digital seperti e-paper, e-book, dsb. Sehingga tantangan besar bagi desainer grafis khususnya, adalah penguasaan teknologi desain hingga pracetak, selain tentu saja kemampuan artistik yang harus juga dimiliki.