Sejak Walt Disney memproduksi
film animasi bernuansa anak-anak ”Mickey Mouse” pada tahun 1928, animasi
menjadi tidak dapat dipisahkan dari dunia anak-anak dalam konteks kehidupan
mereka hingga sekarang. Meskipun dalam dua dasawarsa terakhir konsumsi animasi
telah meluas dari anak-anak hingga orang dewasa, animasi masih sering
diidentikkan dengan kehidupan anak-anak, yang cukup memberikan ingatan bagi
mereka dan terbawa kuat hingga mereka menjadi dewasa. Banyak sekali film
animasi yang menjadi memori kolektif yang terbawa hingga anak-anak tumbuh
dewasa hingga menjadi penanda sebuah penanda budaya yang mewakili era atau generasi tertentu. Bahkan ada film animasi
yang mampu bertahan puluhan tahun dan menjadi tontonan dan produk budaya
legendaris yang sepertinya tidak akan pernah mati. Mickey Mouse, Donald bebek,
Doraemon, Tom & Jerry, Casper, dsb, masih tetap saja menarik sebagai sebuah
tontonan meskipun konteks zaman sudah berubah dibandingkan ketika animasi
tersebut pertama kali dibuat. Karakter-karakter yang tercipta dalam animasi
sebagai representasi dari imajinasi manusia untuk menghidupkan gambar seolah
keluar menjadi realitas sehingga dianggap ada dalam dunia nyata. Mungkin karena
itulah animasi tidak pernah kehilangan nyawa dan selalu hidup dalam peradaban
manusia.
Animasi yang memiliki sejarah
cukup panjang semakin berkembang pesat dengan didukung oleh kemajuan teknologi,
khususnya teknologi elektronika dan digital. Dimana dalam perkembanganya,
medium audio visual yang paling banyak memutar film-film animasi antara lain
adalah televisi, disusul oleh film layar lebar (bioskop), personal komputer dan
media online. Khusus untuk media televisi, untuk saat ini, berdasarkan
survey AC-Nielsen jumlah jam tayang film animasi yang diputar di televisi terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. AC-Nielsen mencatat, dalam hal jam
tayang, program animasi anak menunjukkan penambahan terbanyak. Jam tayangnya naik 9% dengan hadirnya program baru, seperti
Animalia, Avatar the Legend of Aang, Dancouga Nova, Krisna, Pinguin from
Madagaskar, Bernard Bear, Fanboy & Chum-chum, Oscar Oasis, Shaun the Sheep, dsb. Ditambah jam tayang
beberapa program lama, seperti Naruto atau Ipin & Upin, Sponge Bob Square
Pants, dll. Nielsen juga mencatat jumlah waktu anak-anak menonton animasi pun
meningkat 22% menjadi rata-rata 8 jam 14 menit. Tetapi di balik banyaknya film
animasi yang ditayangkan di televisi Indonesia tersimpan fakta yang ironis.
Dari sekian banyak tayangan animasi yang diputar di televisi, semuanya di
dominasi oleh animasi luar sehingga tak ada satupun produk animasi lokal yang menjadi
favorit dan menguasai rating televisi, dimana animasi produksi Amerika dan
jepang (dikenal dengan anime) menjadi penguasa jagad animasi dunia hingga saat
ini. Belakangan negara lain seperti Korea, India, bahkan Malaysia, ikut
meramaikan pentas animasi dunia yang selama ini banyak didominasi hanya oleh
kedua negara tersebut (Amerika dan Jepang). Sedangkan Indonesia yang sering
dianggap memiliki kekayaan karena karekaragaman budayanya masih tertinggal jauh
dibelakang. Bagi para animator lokal, hal ini sebenarnya sudah menjadi masalah
klasik yang disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kurangnya dukungan
pemerintah, daya serap industri yang lemah, serta masalah sumber daya manusia.
Namun yang salah satu faktor yang paling penting dari faktor-faktor tersebut
sebenarnya adalah minimnya sumber daya manusia sebagai akibat sekaligus sebab
belum terbentuknya ”kultur animasi” (Animation culture) di Indonesia.
Untuk membangun sebuah
kultur animasi yang mampu memunculkan produk-produk animasi berkualitas yang ditopang
oleh sumber daya yang memadai diperlukan waktu dan proses yang tidak singkat.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memulai memperkenalkan
aniamsi beserta proses produksinya sejak dini kepada anak-anak. Diharapkan dengan
memperkenalkan proses animasi yang dilakukan sejak dini, anak-anak tidak hanya
sekedar menjadi penikmat atau menjadi konsumen animasi semata. Karena yang
terjadi selama ini, banyak sekali anak-anak yang tidak mengetahui bagaimana
animasi itu dibuat/diproduksi. Namun lebih dari itu juga diharapkan dapat menumbuhkan
minat anak-anak untuk menekuni dunia animasi sejak kecil. Dengan demikian
diharapkan nantinya akan lahir generasi yang tumbuh dan besar dalam ”budaya
animasi” yang siap memproduksi dan mengembangkan animasi Indonesia hingga mendunia.
Disamping itu, karena dunia animasi juga sangat berhubungan erat dengan
imajisasi dan kreatifitas, memperkenalkan proses produksi animasi sejak dini
diharapkan juga mampu mengasah imajinasi dan kreatifitas mereka sedini mungkin.
Apalagi jika dikombinasikan dan ditopang oleh kekayaan dan keaneka-ragaman
budaya Indonesia sebagai spirit dan inspirasi, serta ditunjang oleh kemajuan
teknologi informasi, bukan hal yang mustahil Indonesia bisa menjadi salah satu
pemain utama dalam industri animasi dunia di masa yang akan datang, tanpa harus
menunggu terlalu lama lagi...
)** Tulisan ini dibuat dalam rangka program pengabdian masyarakat melalui pelatihan animasi untuk anak-anak Sekolah Dasar di DIY tahun 2011